Sejarah Desa

Sejarah Desa

ada waktu Pemerintahan Sultan Agung di Kerajaan Mataram, beliau sangat anti kepada penjajah, beliau mempunyai seprang senopati yang gagah berani dan mandra guna yaitu Pageran Kejoran.

Namun pada waktu Mataram diperintah oleh Pangeran Puger dan Pangeran Adipati Anom, beliau bersekutu dengan Kompeni Belanda adapun Pangeran Kejoran tetap pada pendiriannya yaitu akan menruskan perjuangannya dalam mengusitr penjajah Kompeni Belanda, dengan selisih pendapat, maka terjadilah kemelut antara Pangeran Puger dan Pengeran Adipati Anom melawan Pangeran Kajoran, karena Pangeran Puger dan Pangeran Adipati Anom takut menghadapi Pangeran Kajoran, maka beliau minta bantuan kepada Kompeni Belanda untuk menangkap Pangeran Kajoran. Cita-cita Pangeran Kajoran ini ternyata mendapat banyak dukungan dari para kesatria diantarnya Pangeran Puspoyudo, tumenggung Bandung dan ki Honggopati. Pangeran Puspoyuda, tumenggug Bandung dan ki Honggopati mendapat tugas dari Pangeran Kajoran untuk berjuang melawan Kompeni Belanda di wilayah Jepara Utara, dan keberadaannya telah diketahui oleh Kompeni Belanda dan akhirnya diserang oleh Kompeni Belanda dan karena kekuatan Kompeni Belanda terlalu besar maka Pangeran Puspoyuda membagiidua kekuatan yaitu : pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Pupoyuda menuju kewilayah timur dan, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh tumenggung Bandung beserta ki Honggopati menuju ke sebelah utara akhirnya terjadilah pertempuran sengit dan Kompeni Belanda kekuatannya terpecah menjadi dua kekuatan sehingga pasukan Kompeni Belanda  yang bertempur di wilayah utara ditumpas habis oleh pasukan yang dipimpin ki Honngopati dan atas keberanian dan kesaktian ki Honggopati tersebut, masyarakat menyanjung dan mengganti namanya dari ki Honggopati menjadi ki Longgopati.

 

Setelah petempuran yang sangat melelahkan itu ki Longgopati bersama pasukannya meneruskan perjalaanan dan sampailah serta beristirahat di suatu kampung dimana disetiap pekarangan rumah penduduk kampung itu di tanam jenis tanaman yang buahnya kalau dimakan terasa manis dan sangat menyegarkan orang yang memakannya serta dapat menghilangkan rasa haus bagi orang yang sedang kehausan dan tanaman buah itu oleh       ki Longgopati dinamakan tanaman  buah Jambu yang sampai sekarang  menjadi nama dari suatu kampung atau desa tersebut yaitu : desa Jambu.

Selanjutnya ki Longgopati bertemu dan berteman serta membantu perjuangan  seorang ulama yang tinggal disebuah dukuh, ulama tersebut bernama ki Agung Alim Joyo Kusumo, adapun cerita ki Agung Alim Joyo Kusumo adalah sebagai berikut ki Agung Alim Joyo Kusumo mempunyai istana yang terletak di desa Sinanggul yaitu sebuah dukuh yang oleh masyarakat setempat disebut dukuh Sentono, beliau mempunyai dua orang istri, istri pertama bernama Nyi Ronggowinih yang sekarang petilasannya dikenal dengan nama Mbah Buyut Kawak di desa Kawak, sedangkan istri kedua bernama Nyi Kayu Wayang yang sekarang petilasannya banyak orang menyebut Buyut Kayu Wayang atau Mbah Buyut Sentono Srobyong, adapun petilasan ki Agung Alim sendiri terletak di dukuh Sentono Sinanggul yang terkenal dengan sebutan Mbah Agung Alim joyo Kusumo Sentono Sinanggul. Selain iti ki Agung Alim juga mempunyai teman sekor harimau yang diberi nama ki Loreng

Kemudian setelah peperangan sengit dengan Kompeni Belanda usai dan ki Longgopati behasil mengalahkan pasukan Kompeni Belanda,, Ki Agung Alim menyarankan kepada Ki Longgo Pati untuk bersyukur kepada yang Maha Kuasa. Kemudian Ki Longgo Pati meminta kepada Ki Agung Alim supaya dibuatkan tumpeng yang besar, maka Ki Agung Alim segera pulang dengan menaiki Ki Loreng, menuju rumahnya. Sesampai di rumah, Ki Agung Alim segera mempersiapkan segala kebutuhan syukuran dengan memerintahkan para santrinya. Dalam waktu satu malam persiapan itupun selesai, sehingga salah satu santrinya segera menghadap Ki Agung Alim. "Assalaamu'alaikum Ki...", sapa santri. Ki Agung Alim pun menjawab, " Wassalaamu'alaikum, bagaimana santri, sudah siap semua?". Sampun Ki, tapi maaf Ki, ikannnya belum ada Ki..", jawab santri sambil membungkukkan badan. " Lho, terus bagaimana?", kata Ki Agung Alim sambil berfikir. Sudah, cepat kamu ke pinggir laut menunggu orang mancing!", lanjut Ki Agung Alim. Begitu tahu maksud Ki Agung Alim maka santri segera menjawab, "Injih Ki", sambil bergegas pergi meninggalkan Ki Agung Alim. Sesampai di pinggir laut santri tersebut menunggu pemancing yang pulang membawa ikan. Namun seharian penuh menunggu, tidak satupun pemancing yang lewat, sampai santri itupun merasa kelaparan dan kehausan atau ngelak (jawa). Maka di kemudian hari tempat tersebut dikenal dengan nama dukuh Ngelak.

Dalam keadaan yang hampir putus asa dan hampir kembali ke Sentono, tiba-tiba lewatlah seorang pemancing yang membawa kepis besar berisi penuh ikan. Santri itupun segera menghampiri sambil bertanya, "Pak..pak, dapat ikan banyak ya...?". Karena santri itu menggunakan pakaian yang jelek, pemancing itupun khawatirkalau yang bertemu dengannya adalah orang jahat dan akan merampas ikannya, maka ia pun berbohong. "Tidak, Tidak dapat ikan!" jawab pemancing. Santri bertanya lagi, "Lha di kepis itu apa pak?". Ini bukan ikan, tapi gathel (buah putri ayu)", jawab pemancing. "Ah masak, bapak bohong ya?" tanya santri lagi semakin penasaran. "Tidak nak, saya tidak bohong. Di dalam kepis ini benar-benar gathel kok!" jawab pemancing sambil cepat-cepat berlalu. Dan santri membalas, "Ya sudah pak, terima kasih..."

Hingga hari gelap tidak ada juga pemancing yang lewat. Santri itupun pulang dan menghadap Ki Agung Alim. "Bagaimana santri? sudah dapat ikannya? kok sampai hampir gelap baru pulang..", tanya Ki Agung Alim pada santrinya. Santri menjawab, "belum Ki". "Lho apa tidak ada pemancing?" tanya Ki Agung Alim lagi. "Ada satu Ki, walaupun kepisnya kelihatan berat, tetapi katanya tidak dapat ikan malah dapat gathel", jawab santri sambil menunduk. "Apa, gathel?", tanya Ki Agung Alim tidak percaya. Karena merasa dibohongi, Ki Agung Alim pun sangat kecewa dan marah. Seketika itu, tiba-tiba datanglah angin yang sangat besar sehingga semua peralatan dapur yang digunakan memasak kebutuhan tumpengpun kocar-kacir. Hanya tersisa tiga batu tumangnya saja yaitu watu tumang yang saat ini berada di tengah persawahan di desa Sinanggul Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara. Peralatan dapur yang lainnya tersebar dimana-mana di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Desa Jambu. Dandangnya jatuh di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Jambu Sedandang. Piringnya jatuh di daerah yang sekarang menjadi Jambu Ujung Piring. Kekepnya jatuh di daerah yang sekarang bernama Jambu Sekekep. Lampingnya jatuh di daerah yang sekarang bernama Jambu Kedung Lamping dan pasonya jatuh di daerah yang sekarang bernama Jambu Kedung Paso. Nasi tumpengnyapun berubah menjadi gunung yang sekarang di kenal dengan gunung tumpeng. Sedangkan tempat di mana Ki Longgo Pati membuat syukuran, dikemudian hari dikenal dengan nama Sekuro. Sedangkan pemancing yang tadi berbohong kepada santri, sesampainya di rumah semua ikannya berubah menjadi buah gathel. Pemancing itupun terkejut serta takut, kemudian segera menemui Ki Agung Alim untuk minta maaf.

Walapun tumpeng gagal dibuat, Ki Agung Alim tetap menemui Ki Longgo Pati di rumahnya untuk minta maaf dengan ditemani Ki Loreng. Sesampai di halaman rumah Ki Longgo Pati, ternyata sudah ada banyak orang yang menunggu dengan membawa makanan dan buah-buahan untuk mengikuti acara syukuran. Hingga sekarang halaman rumah Ki Longgo Pati tetap ramai karena menjadi sebuah pasar yang diberi nama Pasar Honggo Sari atau Longgo Sari atau Mlonggo Sari. Pada masa Bapak Sukahar menjabat Bupati Jepara, pasar itu diubah menjadi pasar Mlonggo,_Jepara . Setelah Ki Agung Alim bertemu Ki Honggo Pati dan meminta maaf, acara syukuran tetap dilaksanakan dengan ala kadarnya walaupun tanpa tumpengan. Untuk menjaga serangan dari kompeni Belanda maka Ki Agung Alim menugaskan Ki Loreng untuk mengawasi di penyeberangan yaitu di sungai di daerah yang sekarang bernama Sinanggul Mlonggo. Entah apa yang dikatakan Ki Agung Alim pada Ki Loreng, hingga sekarang Harimau tersebut masih patuh dan berubah menjadi batu besar yang bentuknya mirip sekali dengan Harimau. Batu tersebut dikenal dengan nama Watu Celeng. Wallahu a'lamu bisshowaab.

 

Dan pada hari Senin, 28 Nopember 1983 di adakan rapat yang bertempat di Balai Desa Jambu yang dihadiri oleh 147 orang yang terdiri dari 5 orang dari Muspika Kecamatan Mlonggo, 24 orang Pamong desa Jambu, 15 orang Pengurus LKMD, 73 orang RT/RK, 30 orang Tokoh masyarakat, 30 orang Hansip, diputuskan Desa Jambu di pecah menjadi 2 Jaitu : 1. Desa Jambu Mlonggo dan 2. Desa Jambu Timur. Tetapi kemudian Desa Jambu Mlonggo di koreksi menjadi Desa Jambu.

Surat Keputusan tersebut di tanda tangani oleh Kepala Desa Jambu Solichul Hady, Carik Soedarmo, LKMD oleh Basoeki, tua-tua desa S. Marto.

Kemudian mendapat pengesahan dari Kecamatan Mlonggo no. 64/83 tanggal 8-12-1983 oleh Camat Drs. Hendro Martojo, Pengesahan dari Pembantu Bupati wilayah kerja Bangsri no. 083/...../83 oleh Drs. Mashudi, dan oleh Bupati Jepara Hisom Prasetyo . S.H. dengan nomor 085/B/84 tanggal 05-05-1984.

 

lihat arsip pemecahan desa